Header Ads

Obrolin "Bakmi Hitam" yang Ganggu Keelokan Banjarmasin dan Banjarbaru, Apa Itu?

MELIRIK ke pinggiran jalanan utama dan jalanan dalam perkomplekan di kota-kota Provinsi Kalimantan Selatan tentu saja tidak bisa lepas dari pemandangan tiang-tiang dan kabel-kabel listrik yang saling berkelindan. Keliatan tak elok dan kurang indah saja. Tengok saja Kota Banjarmasin dan Banjarbaru misalnya. Ini jadi pemandangan umum. Mungkinkah, kabel-kabel ini bisa diatur sedemikian rupa, atau bahkan dihilangkan? Bagaimana caranya?

ilustrasi: PLN
Memang bagi sebagian warga yang lebih memikirkan kerjaan dan aktivitas keseharian, pemandangan yang kurang elok untuk tata perkotaan ini jelas hal yang tidak prioritas untuk dipikirkan. Ngapain juga susah-susah mikirin gituan? Namun gak ada salahnya juga sih, kalau kita coba berdialektika mengenai hal ini. 

"Bakmi Hitam" Semerawut Komplit Pake Baliho Politik

Kalau sudah dekat-dekat tahun politik seperti sekarang ini, baliho yang menampilkan wajah-wajah politisi dan parpol bakal bermunculan di mana-mana. Di perempatan, depan gapura komplek, tembok ruko, di pohon lah, sampai dekat tiang listrik. Semerawutnya kelindan kabel-kabel listrik, telepon dan internet semakin komplit dengan kehadiran baliho dan spanduk kampanye ini. Ini belum termasuk banner iklan pinjaman uang dan jasa ini itu lho.

Meminjam istilah yang pernah digaungkan Jakarta, kabel-kabel ini disebut sebagai Bakmi Hitam, karena saking banyaknya. Lalu muncullah ide dari pemimpin Pemprov DKI Jakarta kala itu untuk menanam kabel-kabel listrik ini di bawah tanah. Agar kesemerawutan ini bisa terurai dan keindahan kota bisa diwujudkan tanpa gangguan bakmi hitam itu tadi.

Ternyata, bukan hanya di DKI Jakarta saja, malahan di Bali, tepatnya di Gianyar, ini sudah dilakukan. PLN memindahkan kabel listrik yang letaknya di atas ke dalam tanah. Prosesnya dikerjakan melalui pengeboran di beberapa titik area menggunakan sistem HDD (Horizontal Directional Drilling). 

Pertanyaannya, bisakah ini juga dilakukan di Kalimantan Selatan? Setidaknya di dua kota besarnya, yaitu Kota Banjarmasin dan Banjabarbaru. 

Karakteristik Geografis yang Mungkin Jadi Kendala

Tentu saja di sini penulis sangat awan dengan teknis pembangunan yang dikuasai oleh para sarjana teknik. Namun sebisanya memberikan pandangan saja, dalam perspektif masyarakat awam dalam melihat kemungkinan ini.

Coba kita ke Kota Banjarmasin dulu, hampir semua rumah di Kota Banjarmasin didirikan dengan konsep rumah panggung. Hal ini lantaran kondisi geografis yang merupakan dataran rendah dan rawa-rawa. Membangun pondasi rumah di Kota Banjarmasin boleh dibilang memakan budget yang lumayan gede dibanding daerah lain di Kalsel yang terletak di dataran lebih tinggi seperti daerah Banua Anam misalnya.

Dengan kondisi tanah yang lembek ini, rasanya-rasanya memindahkan kabel listrik ke bawah tanah jadi perlu dipikirkan ulang dan dikaji terlebih dahulu. Apakah memang aman dan memungkingkan, termasuk dari segi anggarannya. Apakah memang sudah prioritas atau belum, dibanding dengan program lain seperti normalisasi sungai yang mengalami pendangkalan. Serta masalah sampah yang bejibun.

Jika memang kondisi geografis memungkinkan, anggaran bisa direncanakan dan jelas peruntukannya untuk menata kota, tentu saja ini perlu dilakukan. Sebaliknya, jika memang tidak memungkinkan, ya apa boleh buat? Barangkali menunggu listrik bisa disalurkan secara nirkabel saja baru bisa. Wkwkwk.

Selain itu perlu visi yang jelas dari pemimpin daerah dan legislatif, jika memang ini benar-benar mau direalisasikan. Jangan sampai, dilaksanakan, namun tidak tau mau dimanfaatkan sebagai apa. Padahal ini penting juga, kalau mau menjadikan Kota Banjarmasin yang lebih elok dipandang mata. Ini juga bakal berpengaruh ke potensi wisata di kota seribu sungai yang terkenal dengan Pasar Terapungnya ini.

Rasanya, mungkin saja ini teradi. Sebab beberapa tahun lalu, Banjarmasin juga pernah melakukan kebijakan ekstrem yang tidak pernah dilakukan oleh daerah manapun di Indonesia, sekalipun itu adalah Jakarta. Kebijakan itu adalah melarang penggunaan kantong plastik di ritel modern yang kemudian disosialisasikan juga ke pasar-pasar tradisional.

Nah, kalau Kota Banjarbaru, rasa-rasanya ini lebih memungkinkan. Mengingat kondisi geografisnya yang lebih tinggi. Rata-rata bangunan di daerah ini tidak menggunakan konsep rumah panggung seperti di Banjarmasin.

Kalau memang ada kemauan dan anggaran yang memadai dari pemerintah daerah setempat, bisa saja ini dipertimbangkan. Apalagi Banjarbaru kini sudah berstatus sebagai ibukota provinsi Kalimantan Selatan. Gimana oke gak nih?


close
pop up banner