Header Ads

Hamka dalam Sebuah Film: Ia yang Tak Kita Tahu Pernah Menangis Sebelumnya

SEBENARNYA, meski takzim dan hormat pada sosok Hamka, saya bukan penggemarnya. Saya hanya menemani seorang pengidolanya menonton film biopic Hamka berjudul Buya Hamka yang rilis April 2023 ini. 

Oleh: Dewi Alfianti
Reviewer film dan buku

Saat si penggemar demikian terhanyut dalam cerita sekaligus dipenuhi rasa haru, saya bersikap biasa saja. Berada dalam suasana batin mengapresiasi dan menekuri, tapi biasa saja karena filmnya memang biasa saja. Seperti film biopic tokoh Indonesia pada umumnya.
Film Buya Hamka terbagi menjadi tiga volume dengan bagian pertama menceritakan aktivitasnya selama akhir penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan masa awal pasca proklamasi. Bagian kedua fokus pada masa menjelang peralihan orde lama ke orde baru dan era orde baru ketika Buya Hamka terlibat konflik serius dalam dunia politik, dan bagian ketiga yang fokus pada masa kecil, remaja dan menjelang dewasa. 

Pada film pertama ini, penonton dianggap sudah tahu siapa Buya Hamka. Scene pertamanya adalah aktivitasnya sebagai Ketua Muhammadiyah Makassar dan pengangkatan sebagai pemimpin koran Pedoman Masyarakat. Maka, pertanyaan yang muncul di kepala penonton yang tidak mengenalnya adalah tokoh ini sepenting apa? Apa yang membuatnya difilmkan? 

Penetrasi ketokohan ini yang terasa kurang kuat di film volume satu ini. Mungkin karena dibuat tiga volume, intensitas sekaligus pendalaman tokoh dilakukan berdasarkan urutan film. Volume satu lebih banyak berperan sebagai mukadimah untuk memasuki pucuk cerita di volume selanjutnya. Meski demikian, menurut saya sebagai sebuah pembuka, film ini tak memberikan sajian kuat yang bisa membuat sebagian penonton benar-benar menantikan volume selanjutnya.

Generasi seangkatan saya, manusia kelahiran 70-80an, tentu sangat familiar dengan nama Hamka. Langsung pula akan menghubungkannya dengan dua roman terkemuka Balai Pustaka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dan Di bawah Lindungan Ka’bah. Kisah tragis namun indah ini menjadi karya klasik yang lekat di ingatan. 

Meski belum pernah membaca ceritanya, generasi ini paling tidak pernah mendengar judulnya. Begitulah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atawa HAMKA atau yang lebih populer dengan nama Buya Hamka dikenal sebagai sastrawan. Ternyata, sebagian juga mengenalnya sebagai seorang ulama. 

Bahkan ia merupakan ulama yang sangat terkemuka. Ia adalah ketua pertama Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan aktivis Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Hamka demikian masyhur, namun zaman berganti dan generasi hari ini boleh jadi tak begitu familiar dengannya. Jika demikian, hal pertama yang diperlukan dalam menyajikan film tentang seorang Hamka adalah informasi yang memadai tentang sosok beliau. Namun film Buya Hamka tidak demikian, ia seakan berasumsi bahwa penonton sudah mengenal dengan baik sang tokoh utama. 

Agaknya bangunan utuh tentang Hamka akan didapatkan penonton setelah selesai menonton ketiga volume filmnya. Namun, bukankah itu terlalu menuntut? Apa yang menjamin seseorang akan kembali ke bioskop untuk kali lainnya menonton lanjutan film ini? Apakah keinginan untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang Hamka? Bagaimana jika alih-alih menunggu volume selanjutnya, sebagian orang merasa telah selesai di film pertamanya? Saat tulisan ini dibuat, film ini telah mencapai lebih dari satu juta penonton. 

Sebuah capaian yang bagus. Kita boleh berharap agar satu juta orang itu akan menonton volume kedua film. Barangkali memang itu tujuan informasi yang kurang memadai tentang Hamka di film pertamanya ini, untuk menggugah rasa penasaran penonton. Entahlah.

Meski agak menyayangkan perihal ketakberlimpahan informasi mengenai siapa Hamka di film pertama ini, tak berarti film ini tak bagus. Menurut saya ini film yang bagus, meski tak sangat bagus. Kekuatan film terletak pada kualitas narasi dan dialog para tokoh serta intensitas hubungan emosional yang dibangun oleh dua tokoh utama, Buya Hamka dan istrinya, Siti Raham. 

Beberapa ungkapan yang dilontarkan pemeran Buya Hamka di film ini berasal dari apa yang pernah ditulis oleh Beliau, dipadukan dengan kalimat-kalimat yang dibuat oleh penulis skenario, hasilnya adalah narasi yang dalam, sekaligus indah serta memiliki kelaziman karena yang mengucapkannya adalah tokoh semacam Hamka. 

Film ini juga berhasil mengungkapkan sisi kemanusiaan Hamka yang rapuh. Sebagian masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai tokoh besar dengan narasi-narasi besar yang dibangunnya tentang keislaman dan kebangsaan. Perasaan terluka karena disisihkan, sakitnya kehilangan, atau kerapuhan karena dikriminalisasi ditampilkan dengan emosionalitas yang pas, tak berlebihan tapi juga tak terabaikan. Di film ini diceritakan bagaimana Hamka kehilangan anaknya yang meninggal saat ia tak berada di rumah, bagaimana ia juga kehilangan ayahnya yang sempat mencercanya di masa muda namun belakangan menjadi dekat dengannya, bagaimana ia dikucilkan dari organisasi Muhammadiyah karena dianggap mendukung penjajah Jepang. Ia terluka, menangis, seperti manusia lainnya.

Kekuatan karakter Hamka dan istrinya diejawantahkan dengan baik oleh Vino Sebastian dan Laudya Cynthia Bella. Meski pada beberapa scene tampak kaku dan dipaksakan, namun Vino memerankan Hamka dengan sangat meyakinkan. Bahkan menurut saya, di antara pemeran film biopic Indonesia lainnya, Vino termasuk yang paling berhasil memerankan sang tokoh. Meski ada yang menyebut logat Minangnya terasa aneh -mungkin yang bisa mengendus keanehan itu hanya orang Minang sebenar- namun bagi saya itu cukup meyakinkan, dan proporsional. 

Akting Vino dan Laudya saya pikir demikian bagus karena mereka tidak memaksakan diri -seperti yang sering saya lihat pada banyak akting aktor Indonesia. Ikatan emosional mereka berdua pun kelihatan meyakinkan, kita macam melihat sepasang suami istri betulan. Tatapan mesra, penghargaan karena kasih sayang, semuanya terpancar dengan baik di antara keduanya.

Meski akting kedua tokoh utama ini boleh dikatakan brilian, lain halnya dengan para tokoh pendukung. Akting yang tampak kurang meyakinkan muncul bahkan dari aktor senior seperti Ferry Salim, pemeran tokoh Gubernur Nakashima, atau Anjasmara sebagai Sukarno, serta beberapa figuran yang tampak kaku dan tidak ekspresif. Kualitas akting yang cukup senjang ini agak mengurangi kenyamanan dalam menikmati film. 

Film ini bukan  jenis kolosal dengan banyak pemain figuran, fokus film ada pada dialog para tokoh. Set film sendiri difokuskan untuk meyakinkan penonton pada linimasa hidup Hamka di mana cuplikan kisahnya diceritakan. Ada kesan intim bahkan romantis dari set yang dibangun, penggunakan warna-warna natural nan solid, perabot yang mengingatkan kita pada nuansa vintage. Saya sendiri menyukainya, penataan seperti itu.

Saya memberi nilai 7,5 untuk film ini, dan tentu saja ia layak tonton terutama bagi mereka yang mungkin menggemari Hamka di dunia nyata. Film ini menjadi monumen pengingat yang paripurna untuk sosok Hamka, di samping yang terpenting tentu tulisan-tulisan buah pikir yang telah dikarangnya. Wallahua’lam.

ilustrasi foto: Indozone
close
pop up banner