Header Ads

Menurut Saya Buya Hamka Bukan Hanya Ulama, Dia Tokoh Jurnalis Nasional!

JUJUR saya malah baru ngeh kalau Buya Hamka itu multitalent banget. Ulama iya, sastrawan iya, jurnalis iya, aktivis iya juga, bahkan sampai pernah turun berperang gitu. Luar biasa sih.

Oleh: Bhanu Swara Kawula

cuplikan film Buya Hamka | pilar.id
Namun dari semua itu, saya tertarik dengan kiprah Buya Hamka sebagai seorang jurnalis. Ya, jurnalis. Ternyata beliau bukan jurnalis "kaleng-kaleng" lho ya. Asli.  Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang disingkat menjadi HAMKA adalah nama aslinya. Ia dilahirkan 17 Februari 1908 di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat.

Rekam jejak Buya Hamka sebagai seorang jurnalis, redaktur di media massa tidak perlu anda pertanyakan lagi. Ia merupakan penulis ulung dengan pemikiran yang membuka wawasan rakyat Indonesia kala itu.

Tercatat ia pernah menjadi pemimpin redaksi (Pemred) majalah Pedoman Masjarakat di tahun 1936 hingga 1942. Saat menjadi pemred, Buya Hamka membawa Pedoman Masjarakat menjadi majalah dengan oplah hingga 4.000 eksemplar. Menjadi majalah dengan oplah terbesar di Indonesia saat itu. Tersebar pula hingga negara tetangga seperi Malaysia dan Singapura.

Boleh dibilang, saat itu, Buya Hamka sudah menjadi "penggerak" media massa kelas nasional. Pembaca majalahnya tersebar di nusantara. Pengaruhnya besar dalam membuka wawasan rakyat, hingga sempat ditutup paksa oleh kolonial Belanda.

Beliau juga tidak ujuk-ujuk secara instant menjadi seorang pemred yang mampu mengangkat oplah medianya jadi sedimikan bagus. Sebelumnya Buya Hamka juga sudah banyak terlibat dalam dunia jurnalistik, baik di Sumatera maupun di Makassar ketika ia bergerak lewat Muhammadiyah di sana.

Ada beberapa majalah yang ia terbitkan sebelum munculnya Pedoman Masjarakat itu. Seperti pernah dituliskan oleh Bambang Galih Setiawan dalam esainya berjudul Tulisan yang Mempertemukan Hamka.  Ada majalah Khatibuh Ummah (1925) hanya tiga keluaran, lalu majalah Kemauan Zaman (1929) lima keluaran, Majalah al Mahdi di Makassar (1939) hanya sembilan keluaran, yang akhirnya tutup sebab kekurangan modal dan mendapat beberapa permasalahan.

Bukan hal yang gampang lho untuk menjadi seorang pemimpin redaksi di sebuah majalah dengan terbitan cetak pada massa itu. Harus benar-benar teliti dan minimal memiliki kemampuan mengorganisir tulisan-tulisan serta liputan menjadi berdaya tarik kepada pembaca. Selain kepada kemampuan dasar berupa proses editing tulisan dan menulis yang juga tidak bisa sembarangan.

Saya kira, tidak banyak yang tau, dari sini, bahwa Buya Hamka boleh dibilang adalah seorang tokoh jurnalis nasional. Kebanyakan kita mengetahui beliau adalah seorang ulama dan sastrawan. Jarang yang tau kalau beliau sebenarnya juga adalah tokoh jurnalis nasional Indonesia di massa perjuangan kemerdekan negeri ini.

Dikala menonton film Buya Hamka, saya jadi termotivasi untuk bergerak di bidang jurnalistik. Apalagi di tengah media massa kebanyakan hari ini, yang kalau tidak dikuasai oleh pemilik modal sekaligus politisi, bisa jadi menjadi alat kapital saja untuk mengeruk pundi uang dari iklan.


close
pop up banner